Dua sisi yang saling berhadapan, berjajar rapih bagai serbuan prajurit yang siap menghujat. Mereka berteriak satu sama lain dan bersorak-sorai menyemangati para jagoan mereka yang sedang berjuang di arena Si Biru dan Si Merah. Itulah sebagian potret yang aku tangkap dari sini, Terlihat tua muda sangat bersemangat memberi dukungan pada para jagoannya dari atas tribun.
Matras berbentuk kotak disusun serapih mungkin membentuk persegi dengan ukuran lapangan delapan kali delapan meter. Mereka tertata diatas tanah bagaikan lukisan berbingkai dengan matras berwarna merah yang mendasari keempat sisinya dan matras berwarna putih yang menjadi background-nya. Sementara itu kedua pemain yang berasal dari kubu Ao dan Akai berperan sebagai objek lukisannya. Di keempat penjuru arena duduk masing-masing seorang juri sambil memegang bendera merah dan biru untuk menilai para pemain dari segala penjuru. Sementara itu adapun seorang wasit yang mengawasi selama pertandingan berlangsung.
“Ao,Akai,Hajime!.” Seru wasit
Si Biru dan Si Merah mulai berlaga menampilkan kemampuan terbaik mereka. Latihan berbulan-bulan mereka akan dipertaruhkan dalam pertandingan berdurasi 3 menit ini. Mulai daru Gumshield ,Hand-Protector,Body-Protector, Head-Protector dan Foot-Protector mereka kenakan untuk meminimalisir resiko cedera dalam pertandingan.
“Ayo Bagas! Press dia! Press! Press!.” Seru pelatih Karateku
Suara beliau memecah lamunku. Diluar arena aku hanya bisa berdo’a sambil mengepal kedua tangan ini untuk dia yang sedang berjuang disana, berharap pada Allah SWT untuk kemenangannya. Setiapku melihatnya entah kenapa ada rasa yang berbeda dari biasanya. Terkadang aku menduga-duga tentang rasa ini namun sulit untuk ku terjemahkan. Bagaikan kode-kode alien yang dikirim ke bumi untuk saling diterjemahkan satu sama lain demi mengetahui isi dari masing-masing kode. Ya, itu yang kini sedang melanda hati dan pikirannku. Kupandangi dia, matanya yang tajam,pundaknya yang tegap,dadanya yang bidang dan pandangannya yang dingin pada setiap lawan-lawannya semakin menghipnotisku, sampai-sampai mata ini tak ingin berkedip walau hanya sedetikpun. Jantungku semakin berdebar-debar saja karena itu adalah babak final dari pertandingan ini.
Kulihat mereka saling menyerang dengan brutal, bagaikan hewan liar yang mempertahankan masing-masing daerah kekuasaannya. Keterampilan untuk Moving, Maegeri, Mawashi dan Gyaku bertubi-tubi mereka tampilkan dalam pertandingan.
“Hachuii!.” Seru wasit mengarahkan kedua tangannya yang saling silang sejajar dengan dada dan menunjuk kubu merah pertanda pelanggaran telah terjadi.
Dia tumbang! Kulihat dia bercucuran keringat menahan kesakitan, pelipis kanannya terluka. Segera wasit dan tim medis menghampirinya. Aku makin was-was dan gelisah tapi entah energi apa yang merasukiku dan mendorongku untuk meneriakkan “Kak Bagas,Semangat!.” Dengan hati yang berapi-api. Diapun bangkit dengan sisa waktu yang tinggal beberapa detik lagi. Dengan sekali Mawashiandalannya diapun menang 3 poin lebih unggul dari lawannya.
Setelah memberi penghormatan kepada para juri dan lawan mainnya,dia berlari ke arahku dan langsung memelukku dengan darah dipelipis kanan yang masih menetes dan cucuran keringat kemenangan. Dipelukkannya aku terpaku dengan kata-katanya “De,kakak menang! Ini untuk kamu.” Ucapnya lirih. Jantungku berdegup kencang dan perasaan ini tak menentu.
Kata-kata “ade.” Satu kata yang sangat mengganjal. Pantaskah diriku ini mengharapkan suatu yang lebih dari hanya sekedar perhatian dari dirinya yang mungkin dia anggap biasa saja atau mungkinkah aku harus simpan dalam diri lalu kuendapkan rasa ini selama-lamanya? Aku selalu jujur dan terbuka padanya. Namun hanya satu yang aku tak jujur kepadanya ku ingin dia pahami,diriku cinta dirinya dan hanya itulah satu yang aku tak jujur kepadanya ku ingin dia mengerti tentang rasaku ini...